Posts

Lebaran di Jogja (bag. 1)

Hari kedua lebaran, saya menyempatkan diri napak tilas menyusuri jalanan kota Jogja. Alhamdulillah, jalanan sepi, langit mendung sehingga membebaskan kepala saya berputar kanan kiri mengingat apa yang pernah berdiri dan terjadi di kanan kiri jalan yang saya lewati.  Beberapa bisa saya ingat dengan cemerlang, namun lebih banyak yang telah hilang dari ingatan.  Motor yang saya kendarai melaju dengan irama  yang mendayu.  Lagu Terkenang-nya Kla memenuhi kepala saya. Ya, saya memang rindu kota ini. Seperempat abad saya ingin sekali keliling kota ini dengan bebas, seperti ketika kuliah dulu. Menelusuri jalan-jalan kota, masuk ke gang-gang, melempar senyum dan sapa pada orang-orang yang berpapasan. Namun setiap kali mampir ke sini, waktu selalu menjadi benteng yang menghambat kebebasan saya. Kali ini tidak, libur panjang yang ditetapkan pemerintah dalam rangka lebaran memberikan keleluasaan pada saya. Sengaja saya membawa motor dari Bandung ke Jogja. Saya sudah merancang j...

Sora

Image
Ilustrasi : Pixabay Tiap sore dari kejauhan Marko mengamati wanita itu, membereskan toko sebelum tutup, menghitung pendapatan dari modal usahanya, sembari mengelap keringat di dahi, yang bagi Marko tentunya bau wangi. Ia jatuh cinta padanya. Senyum Marko mekar saban melihat kehadiran wanita itu. Matanya tak lepas dari sosok yang setiap sore ia tunggu. Rasanya ia ingin berada di samping wanita itu, menjadi bagian dari segala aktivitasnya. Atau sekedar menawarkan sapu tangan yang selalu terselip di sakunya. Sapu tangan? Ah, tiba-tiba ia geli sendiri. Betapa manusia tak mudah lepas dari kebiasaan generasinya. Dan ia kini sibuk menapak-tilasi tangga-tangga usia yang telah ia lalui. Yang ia hirup wanginya, ia kenang selama yang ia mau, atau ia hembuskan secepat laju Tokaido Shinkansen menuju Shin-Osaka dari Tokyo . Hidup, baginya adalah jalan keheningan kini. Setelah liku-liku kemudaan yang penuh hiruk pikuk. Pertempuran memperjuangkan nasib, samurai yang ia tebaskan pada leher-leher keme...

Darul

Image
Ilustrasi : Pinterest Darul mematut diri di depan cermin. Baju satpam membungkus tubuhnya yang kerempeng. Terlihat kedodoran. Namun begitu, Darul terlihat begitu suka cita. Tangannya gemetar membelai emblem satpam di dadanya. Giginya yang kekuningan dan hitam di pangkal gusinya terlihat dalam cermin. Tar tembakau dari rokok linting yang dihisap nyaris tak berjeda meninggalkan jejak di sana. Kemarin sore, mamaknya memberi kabar, Darul diminta menjadi satpam di komplek yang berbatas dengan kampungnya. Komplek perumahan yang hanya berisi 35 rumah dengan tembok tinggi yang mengelilinginya. Rumah-rumah komplek dengan halaman seluas pekarangan rumahnya. Rumah-rumah yang selalu tertutup pintu pagarnya, yang hanya pembantu-pembantu rumah yang terlihat mondar-mandir di jalan komplek, bergerombol genit mengelilingi tukang sayur, atau sekedar ngerumpi di pagar rumah majikan. Satpam adalah cita-cita tertinggi Darul. Di kepalanya, berseragam satpam tak kalah gagah dengan polisi atau tentara yang pe...

Dia Gayatri, Kita Siapa?

Image
Cover Novel Dia Gayatri, Bre Redana "Di dunia ini, sejatinya tidak ada yang kebetulan. Segala peristiwa yang kita alami sudah ada dalam skenario Yang Maha Kuasa. Termasuk pertemuan kita ini." Teman kecil saya berkata pada sebuah pertemuan di kota tempat saya tinggal. Itu merupakan pertemuan yang sulit saya percaya. Saya dan teman saya itu sudah hampir tiga dasawarsa tak bertemu. Kabarpun tak pernah saya dengar. Ia tak ada dalam memori otak selama itu. Bahkan ketika saya pulang kampung, ia tak ada dalam list pertanyaan saya pada anggota keluarga sebagai bahan obrolan pemantik kenangan. Namun tiba-tiba ia muncul di kota saya, di hadapan saya dalam temaram lampu cafe. Pakaiannya berkelas dengan aroma parfum yang menguar, kemudaannya terjaga sebagai pertanda kesuksesan yang mengiringi kehidupannya. Ia katakan, di Bandung hanya sebentar membicarakan proyek dengan partner yang kebetulan tinggal di Dago atas.  Pertemuan denganku, ia sempatkan setelah pembicaraan dengan rekannya sele...

Pohon Sukun di Belakang Rumah

Image
Ilustrasi : quizizz.com Menurut cerita Ibu, Bapaklah yang menanam pohon sukun di belakang rumah kami. Masih menurut Ibu, pohon itu ditanam ketika pemerintahan orde baru menggalakkan penghijauan lahan-lahan gundul. Tiga batang bibit sukun yang ditanam Bapak, semuanya tumbuh subur. Dua batang ditanam di sudut pekarangan sebagai penanda batas dengan tanah tetangga kanan dan kiri. Sebatang sisanya ditanam persis di samping sumur belakang rumah. Dua batang sukun penanda batas itu telah tak terlihat tunggulnya. Dirobohkan oleh tetangga karena akarnya menjalar jauh hingga bertunas di tritisan dan plataran rumahnya. Pada akhirnya, tersisa satu pohon sukun itu di belakang rumah. Berkembang dengan begitu pongahnya. Tidak pernah bosan memamerkan buah-buahnya yang bergelantungan, melambai-lambai memanggil kelelawar ketika matang, memberi kami hidangan yang dimasak berbagai rupa oleh ibu. Digoreng, dikukus, dibuat keripik atau terkadang disayur santan dengan campuran daun melinjo dan pete. Apa saja...

Pulang : Kritik Cerdas Toha Mohtar

Image
Foto : Koleksi pribadi Tamin akhirnya pulang setelah pengembaraan panjang sebagai Heiho yang dikirim ke Burma oleh Jepang. Tentu saja ia pulang bukan sebagai pejuang. Ia tentara yang dikirimkan kekaisaran Jepang ke perang Asia Pasifik, wilayah Burma. Tujuan kepulangannya adalah menggarap sawah keluarga. Tak ada impian lain yang terlintas di kepalanya selain menggarap sawah. Namun, sawah keluarga yang begitu ia harapkan, ternyata telah tergadai. Berbekal gaji Heiho yang ia kumpulkan, dan perhiasan dari istrinya yang meninggal saat melahirkan anaknya, ia menebus sawah keluarganya kembali. Dua teman kecilnya Pardan dan Gamik meninggal sebagai pahlawan saat berperang melawan tentara Belanda. Menjadi ikon desanya. Kepahlawanan di desa itu, selalu terkait Pardan dan Gamik. Tamin merasakan dirinya bukanlah siapa-siapa, terlebih saat ia diminta bercerita tentang dirinya saat peperangan terjadi. Lahirlah cerita kebohongannya. Dan Tamin akhirnya tak tahan berada di desanya, ia mingga...

Lasiyem

Image
Sumber Photo : Wikipedia Gadis di sampingku ini bernama Lasiyem. Dalam perkenalan beberapa jam yang lalu, ia menyebutkan nama panggilannya Iyem. Tentu saja. Tidak mungkin, dengan nama Lasiyem, orang akan memanggilnya Lasi, itu sebutan yang aneh. Tidak umum. Hanya ada tiga kemungkinan nama panggilan untuknya, Lasiyem, Lasi, atau Iyem. Iyem adalah kemungkinan terbesar. Dan nyatanya memang itulah nama panggilannya. Usianya mungkin di atas tiga puluh. Tubuhnya padat berisi, memakai jeans biru dengan atasan kaos putih yang mencetak bentuk tubuhnya. Jika bertemu di pusat keramaian dengannya, mungkin tidak akan menyangka namanya Lasiyem. Ia lebih cocok menyandang nama macam Fifi, Saras, Hana, Ziggy, atau nama-nama yang lebih modern. Bukan Lasiyem. Tapi ia Lasiyem. Ketika duduk di atas kursi sesuai nomor di tiket kereta api exclusive jurusan Yogyakarta dari Bandung, aku sempat kikuk. Kejelitaannya tentu saja. Ia duduk dengan sikap percaya diri yang luar biasa. Wajahnya hanya sesekali teralihka...