Lasiyem

Sumber Photo : Wikipedia

Gadis di sampingku ini bernama Lasiyem. Dalam perkenalan beberapa jam yang lalu, ia menyebutkan nama panggilannya Iyem. Tentu saja. Tidak mungkin, dengan nama Lasiyem, orang akan memanggilnya Lasi, itu sebutan yang aneh. Tidak umum. Hanya ada tiga kemungkinan nama panggilan untuknya, Lasiyem, Lasi, atau Iyem. Iyem adalah kemungkinan terbesar. Dan nyatanya memang itulah nama panggilannya. Usianya mungkin di atas tiga puluh. Tubuhnya padat berisi, memakai jeans biru dengan atasan kaos putih yang mencetak bentuk tubuhnya. Jika bertemu di pusat keramaian dengannya, mungkin tidak akan menyangka namanya Lasiyem. Ia lebih cocok menyandang nama macam Fifi, Saras, Hana, Ziggy, atau nama-nama yang lebih modern. Bukan Lasiyem. Tapi ia Lasiyem.

Ketika duduk di atas kursi sesuai nomor di tiket kereta api exclusive jurusan Yogyakarta dari Bandung, aku sempat kikuk. Kejelitaannya tentu saja. Ia duduk dengan sikap percaya diri yang luar biasa. Wajahnya hanya sesekali teralihkan ke luar jendela. Selebihnya menekuri buku kecil di pangkuannya. Buku dengan sampul berwarna merah marun.

Ia menatapku ketika seruan "hai" mengusiknya. Sesaat aku terpukau melihat senyumnya merebak. Tangannya menyambut tanganku yang terulur. "Pardi!", Aku memperkenalkan nama. Kebiasaan yang buruk. Aku suka menyebut nama yang bukan nama sebenarnya pada orang yang belum kukenal. Entah kapan mulainya, tapi sepertinya itu telah menjadi kebiasaan. Dan Pardi mungkin nama yang paling sering aku gunakan.

"Pardi saja?", ia bertanya. Amboi, suaranya seperti gemercik air di sendang. Merdu tanpa dibuat-buat. Aku bersyukur, sebelum berangkat tadi menyempatkan diri mengorek telinga. 

"Ya, Pardi saja, tapi orang-orang di komplek menyebutku Pardi Angkot, karena kerjaanku," aku menyahut. Lagi-lagi aku berbohong perihal profesiku. "Kamu?", ganti aku yang bertanya.

"Lasiyem, panggilanku Iyem," ia berkata. Aku melongo.

"Untung nggak ada laler," ia bergumam.

"Lasiyem saja, nggak ada nama belakang?", aku bertanya. 

"Iya, Lasiyem, Iyem, aku pembantu di perumahan Bandung Atas," ia menegaskan.

Aku mengangguk-angguk. Susah rasanya percaya. 

Selanjutnya kami berbincang akrab. Sangat akrab. Aku menawari panganan dan minuman padanya ketika pramugari yang wangi menghampiri kursi kami. Ia memilih Nasi Train Chicken, dan aku menyebutkan Nasi Goreng Parahyangan yang dicatatkan oleh pramugari. Dua gelas lemon tea menjadi minuman pilihan kami. Aku memperhatikan cara makan dan minumnya yang anggun. Aku mulai menyangsikan namanya Lasiyem. Kusimpan sebisanya.

Kami tertidur setelah basa-basi sebentar usai makan. Mataku tiba-tiba berat, dan pamit padanya dengan isyarat mengatur posisi duduk yang nyaman untuk tidur. "Saya juga harus tidur," ia berkata. Aku gembira, paling tidak, tak harus merasa bersalah membiarkan dia cilang-cileng sendirian. Aku sempat berharap, mudah-mudahan kami bertemu dalam mimpi di alam tidur.

Sepertinya, harapanku terkabul. Kami berjalan menikmati kegembiraan di Yogyakarta. Dari Borobudur ke Prambanan seperti kilat, dengan tangannya yang tak sedetikpun terlepas dari genggamanku. Seperti abege yang dimabuk asmara. Menikmati sunset di Puncak Becici. Sesekali bibir kami berpagutan. Lalu menikmati pasir putih di Pantai Indrayanti, secepat kilat berenang di Pantai Wediombo, segalanya seperti lompatan-lompatan yang mengasyikkan. Tentu saja dengan gairah-gairah yang meletup-letup. Aku terbangun ketika dalam mimpi tengah berciuman di sebuah angkringan. Sang penjaga angkringan memukul kepalaku dengan cuthek arang. Aku tergagap. Nyatanya pramugari yang menepuk pundakku, memberitahu gawai yang meluncur dari saku jaket. Lasiyem masih tertidur pulas. Bibirnya sedikit terbuka, cantik sekali. Aku menggaruk kepala mengingat mimpi yang berakhir berantakan.

Dia terbangun ketika stasiun Kutoarjo terlewati lima menit yang lalu. Senyumnya langsung mengembang. Ia meraih tisu basah, menyapukan ke kelopak matanya. Aku balas senyumnya.

"Aku ngorok?", dia bertanya.

"Nggak, nyenyak sekali tidurmu," aku menyahut. Sebenarnya ingin aku tambahkan, "kau wanita tercantik yang pernah kulihat saat tidur." 

Ia meraih buku kecil dari dalam tasnya. Buku berwarna merah marun. Buku yang juga ada di salah satu saku ranselku. Rex!.

"Kumcernya Bre Redana," saya mengomentari.

"Ya, ini teman perjalanan yang selalu kubawa. Saya suka, saya sering berharap bertemu Pangeran Kegelapan. Biarlah saya berdiam dan tersiksa dalam penantian menunggunya datang, namun segala kebutuhan tercukupi, Simbok, Bapak, Adek, bisa hidup tentram tanpa bersusah-susah," Lasiyem bergumam. Matanya menerawang.

Aku memberanikan menepuk-nepuk punggung telapak tangannya. "Mudah-mudahan kau akan bertemu Pangeran Cahaya, memberikan kebahagiaan yang utuh padamu, terang yang menaungi kehidupanmu," aku berkata.

Dia menatapku, senyumnya terlihat kecut. Setelahnya kami terdiam. Stasiun Wates terlewati, tak lama stasiun Sentolo tertinggal di belakang. Stasiun Tugu di depan mata. Kami berkemas dengan bawaan kami. Dia meminta bantuanku menurunkan travel bag dari bagasi di atas kami.

"Yang merah marun," ia berkata.

Aku meraihnya, sebuah kartu dengan ukiran nama yang indah terkait di resleting travel bagnya. Sekilas terbaca sebuah nama, Donna!.

"Kita berpisah di sini ya," dia berkata. Mungkin suara merdu yang entah kapan akan kudengar lagi.

Aku mengangguk, senyum kehilangan kurasa membersamai lengkung bibirku. Aku mempersilakan dia keluar dari kursi. Ia menatapku sesaat, tiba-tiba bibirnya mencium pipiku. "Terimakasih," ia berkata. Lalu berjalan menuju pintu keluar. Aku masih terdiam.

__&&__

Sudah sepuluh hari aku berada di sini. Hotel sekitaran Jalan Magelang. Hari mulai hangat. Secangkir kopi dingin sedari tadi. Rasanya enggan kusentuh. Omelette seperti mayat perang yang tergeletak. Hanya ujungnya yang terpotong oleh garpu yang tergeletak di piring. Koran lokal di atas meja kulihat nanar, kolom kecil itu seperti magnet yang menarik mataku.

"Donna, 37, wanita ber-KTP Kota Bandung, wisatawan korban tenggelam yang hilang di Pantai Indrayanti pada Sabtu (9/4) lalu akhirnya ditemukan tidak jauh dari tempat korban dinyatakan hilang, Senin (11/4). Korban ditemukan sekitar pukul 10:40 waktu setempat dalam kondisi meninggal dunia."

Wajah itu, sangat aku kenali.

2022

Comments

Popular posts from this blog

Sora

Lebaran di Jogja (bag. 1)

Pulang : Kritik Cerdas Toha Mohtar