Perjalanan Mustahil Samiam Dari Lisboa : Sebuah Pencarian Identitas
![]() |
Perjalanan Mustahil Samiam Dari Lisboa |
Terbit tahun 2021, saya begitu antusias menanti buku ini terbit. Novel yang ditulis oleh Zaky Yamani dalam kurun waktu yang panjang untuk menyelesaikannya. Berbekal program residensi penulis Indonesia pada tahun 2017 dari Komite Buku Nasional, saya yakin Zaky Yamani melakukan riset yang dalam untuk melahirkan novel "Perjalanan Mustahil Samiam Dari Lisboa".
Sebelumnya saya telah membaca empat buku tulisan dari Zaky Yamani. Novel Bandar dan Pusaran Amuk, kumpulan cerpen Johnny Mushroom serta satu buku puisi berjudul Di Muara Tagus. Hasilnya, saya selalu menunggu buah karya penulis ini. Oh ya, satu lagi terjemahan beliau yang sangat saya sukai, Pedro Paramo, dari penulis Meksiko, Juan Rulfo.
Nah, mari kita berlayar bersama Samiam (dibaca Sang'iang).
Zaky, membuka novel ini dengan sebuah judul "Tentang Tiga Buku Antik", yang jika kita baca seolah-olah sebagai pengantar. Pengantar yang ditulis oleh Profesor Barend Hendrik van Laar. Percayalah, saya juga terkecoh untuk menelusuri nama tersebut di mesin peramban google. Alusi yang keren saya pikir, karena cerita yang saya baca, seolah-olah merupakan cerita dari Sang Profesor dari hasil terjemahan buku perjalanan Samiam yang ditemukan di Persia, Bumi Priangan, dan Malaka.
Masih di pembuka, bab kedua adalah sebuah puisi perjalanan yang ditulis oleh Samiam berjudul "Selamat Tinggal Lusitania". Puisi perjalanan yang demikian hidup. Bercerita tentang titik awal perjalanan Samiam dari Lusitania menuju Timur mencari asal darahnya, ayahnya.
Selanjutnya cerita mengalir di paruh pertama tahun 1543. Catatan harian Samiam yang runut hari per hari. Bergerak maju menggambarkan kehidupan Samiam yang begitu nikmat untuk kita lahap.
Samiam memutuskan menulis buku harian. Keputusan menulis buku harian didasari mimpi yang ia alami dan membuatnya demikian gelisah, juga sebuah peta yang disebut sebagai Peta Orang Jawa yang terpaksa ia dapatkan dari seorang perempuan tua yang memaksanya untuk membeli. Mimpi dan Peta Orang Jawa ternyata berkelindan. Tanggal 4 Januari 1543, menandai kisah ini dimulai.
Saya merasa, saya tengah berhadapan dengan Samiam. Kami duduk berhadapan dalam sebuah kafe dengan secangkir kopi di hadapan kami. Lagu-lagu akhir periode renaissance memenuhi gendang telinga kami.
Saya sebagai pendengar yang terhipnotis dengan kepiawaian penuturan Samiam yang runut. Dia penutur yang lihai. Masa kecilnya di sebuah desa nelayan dengan kehidupan yang keras khas nelayan. Keluarga sederhana yang hanya berpikir menangkap ikan dan mengurus sepetak tanah untuk memenuhi kebutuhan perut. Namun kasih sayang berlimpah padanya. Samiam tumbuh pada keluarga yang tepat, untuk menggiring kisahnya di bab-bab berikutnya. Pribadi yang kuat mengikuti jalan takdirnya. Yang terjadi, maka terjadilah, begitu mungkin ungkapan yang tepat bagaimana Samiam berkhidmat mengikuti kakinya melangkah. Kemana harus menuju, segalanya telah menjadi kehendak.
"Jangan berharap lebih dari yang sudah Tuhan berikan kepadamu. Jangan menginginkan sesuatu yang tak kauketahui akibatnya." (hal. 104).
Hidup adalah tentang balas budi. Jika kau menafikan itu dalam hidupmu, lebih baik berhentilah menjadi manusia. Dalam novel ini, pesan penulis mengenai hal tersebut apik disampaikan. Kisah tentang ayah angkat Samiam, Manuel dengan Joao adalah bagaimana balas budi menjadi bagian dari kehidupan. Bagaimana keterikatan manusia dengan manusia lain adalah sebuah rangkaian yang akan mengiringi selama hidup itu ada. Hidup adalah tentang memberi dan menerima. Kita tak akan pernah lepas dari itu. Pesan yang disampaikan penulis dalam kisah Manuel dan Joao, Manuel dan Joao dengan
Dona Matilde dan orang-orang Porto de Graal akan dikenang pembaca tanpa merasa digurui.
"Seperti orang yang kenyang harus diberitahu bahwa ada orang lapar yang harus diberi makan di sekitar mereka, orang kaya harus diberitahu ada orang miskin dan budak di sekitar mereka. Bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Bahwa hidup adalah kerja sama, bukan untuk saling menguasai." (hal. 292).
Novel Perjalanan Mustahil Samiam Dari Lisboa, juga menceritakan kisah cinta Samiam dan Bianca yang unik. "Cinta perlu diuji", kita semua pasti sepakat dengan pernyataan tersebut. Percintaan Samiam dan Bianca, adalah kisah bagaimana perasaan itu harus dibuktikan, dan bagaimana sekat harus dienyahkan. Bahkan ketika bibit perasaan yang tumbuh kemudian berbuah pada keterikatan perkawinan, ujian akan selalu hadir untuk menguatkan.
"Aku masih ragu saat itu, karena kita sudah berencana untuk menikah. Tetapi kau tidak pernah menunjukkan kau benar-benar mau menikahiku, karena itu aku harus mengujimu ...". (hal. 340).
Segalanya tentang perjuangan. Bukankah hakikat hidup ini adalah bagaimana kita bertahan dan meraih apa yang menjadi impian kita. Bahkan ketika kita meyakini jalan telah digariskan dan akhir kehidupan telah ditetapkan, kita musti menyingkirkan penghalang bahkan membuka jalan yang tertutup untuk sampai pada akhir. Perjuangan adalah sebuah sikap positif, bagaimana hidup ini kita maknai.
"... aku akan mencari diri sendiri, serta makna hidup yang sedang dan akan aku jalani." (hal. 289).
Saya menyukai jalan kisah dalam novel ini. Kehidupan manusia digambarkan sebagaimana ia hadir di tengah kita. Menggugah kita untuk bangkit dari keterpurukan, menghargai arti penting orang-orang di sekeliling kita, berpasrah juga pada kehendakNya, dan memelihara api semangat tetap menyala.
Fiksi dengan bumbu sejarah selalu menarik bagi saya. Memantik untuk kembali membuka dan mencari perjalanan sejarah peradaban manusia. Jaman kiwari yang tengah kita jalani saat ini, buah dari kejadian-kejadian masa lalu. Kebaikan dan keburukan, yang padanya kita musti mengambil pelajaran.
Secara keseluruhan, saya sangat menyukainya. Pemilihan diksi dengan kata dan kalimat yang akrab, serta jalan cerita yang aduhai, membawa kita berkelana ke abad renaissance dengan penggambaran yang memikat.
Cover buku ini juga sangat bagus. Maka, sebagai penutup, saya ingin katakan, saya sabar menunggu kelanjutan kisah di buku kedua. Semoga masih ada kesempatan bagi saya duduk berhadapan dengan Samiam di sebuah kafe ditemani secangkir kopi dan musik abad renaissance bergaung di telinga kami.
Salam
Comments
Post a Comment