Sora

Ilustrasi : Pixabay

Tiap sore dari kejauhan Marko mengamati wanita itu, membereskan toko sebelum tutup, menghitung pendapatan dari modal usahanya, sembari mengelap keringat di dahi, yang bagi Marko tentunya bau wangi. Ia jatuh cinta padanya.

Senyum Marko mekar saban melihat kehadiran wanita itu. Matanya tak lepas dari sosok yang setiap sore ia tunggu. Rasanya ia ingin berada di samping wanita itu, menjadi bagian dari segala aktivitasnya. Atau sekedar menawarkan sapu tangan yang selalu terselip di sakunya.

Sapu tangan? Ah, tiba-tiba ia geli sendiri. Betapa manusia tak mudah lepas dari kebiasaan generasinya. Dan ia kini sibuk menapak-tilasi tangga-tangga usia yang telah ia lalui. Yang ia hirup wanginya, ia kenang selama yang ia mau, atau ia hembuskan secepat laju Tokaido Shinkansen menuju Shin-Osaka dari Tokyo.

Hidup, baginya adalah jalan keheningan kini. Setelah liku-liku kemudaan yang penuh hiruk pikuk. Pertempuran memperjuangkan nasib, samurai yang ia tebaskan pada leher-leher kemelaratan yang mendera dirinya, keluarganya. 

Ada saat dimana ia merasa bangga pada dirinya. Perasaan bahwa pertempuran itu telah ia menangkan. Meninggalkan bangkai-bangkai kemiskinan yang ia biarkan berserak dan musnah dihempaskan angin. Adik-adiknya telah menikmati kemakmuran. Sekolah hingga batas yang mereka tetapkan cukup, mereguk hasil dengan bekerja sesuai yang mereka harapkan. Berumah layak, berkeluarga dengan pasangan yang mereka pilih. Tak ada kata selain kebahagian dan kepuasan pada adik-adiknya menikmati kehidupannya. 

Bapak ibunya tak perlu merasa sudra di akhir hidupnya. Setidaknya mereka merasa doa-doanya tak sia-sia. Menghantar keringkihan usia tua mereka dengan kenyamanan menjalani sisa hidup dengan beban seringan kapuk yang melayang di musim kemarau. Melepas akhir hidup dengan senyum bangga menatapnya. Yah, tatapan dan tarikan bibir yang akan ia harap singgah di kepurnaan hidupnya kelak.

Sementara Marko, seharusnya ia tak perlu menyesalinya. Toh, dalam medan pertempurannya, ia tebaskan samurai sembari menyiulkan mars-mars yang memacu semangatnya. Sukacita, bahkan terlalu sukacita hingga ia lupakan dirinya. Kesendirian yang kini ia nikmati saban hari dengan kenangan yang ia reka ulang sembari menatap wanita di seberang rumahnya. Kesendirian yang kini menagih diusaikan.


Usia Marko menjelang 47. Mengalir bagai gemericik sungai kecil yang melenakan. Usia 45, ia merasa usai dengan pertempurannya. Cukup sudah. Waktunya menutup cerita-cerita polah ambisius untuk menancapkan bendera kemenangan di wilayah musuh. Telah ia tetapkan garis di mana ia harus berhenti. Ketika bagaimana; setinggi apa capaiannya; dan tentu saja di mana ia akan rebahkan kepenatan setelah segalanya usai. Sudah waktunya ia melakukan apa yang dilakukan Musashi. Ia harus mencari pulau Kyushu-nya sendiri. 

Dan di sinilah Marko. Kota kecil yang perlu empat jam jika ingin merasakan kemacetan dan hiruk pikuk kehidupan 24 jam. Di sinilah ia, kota yang rutinitas kehidupan masyarakatnya bergelung dengan sarung hingga pukul sembilan pagi. Matahari yang memberi waktu padanya untuk lebih lama rebah. Menyelami lagi jejaknya yang lampau. 

Rumah itu bergaya Jepang tradisional. Zen, kesederhanaan, setelah kebisingan mengambil hampir seluruh usianya sebelum ia putuskan cukup. Dua pohon pinus di sisi kanan dan kiri pintu utama. Kolam koi minimalis di halaman dengan naungan plumeria, dan bambu-bambu yang berjarak rapat menjadi batas pekarangannya dengan jalanan yang tak begitu ramai. Marko merasa menjadi bagian dari kemewahan alam. Segurat warna dari jutaan warna yang disapukan oleh kuas Sang Pencipta. 

Wabi Sabi, keindahan tanpa kepura-puraan, kesederhanaan, keselarasan, begitu Marko pernah menangkap makna yang tersirat dalam sebuah tulisan. Atau keindahan dalam dalam keheningan, jauh dari segala hiruk pikuk yang pernah ia jadikan baju zirah pertempurannya. Kini ia nikmati aroma keheningan yang lekat. Dan justru kini ia lihat keindahan itu dengan sempurna.

Dan wanita itu. Sudah enam kali purnama datang, sejak wanita itu hadir menempati rumah persis di seberang rumahnya. Pertama kali datang, serombongan besar dan juga sebuah truk yang membawa segala macam perabotan berhenti di depan rumah yang selama Marko hadir di kota kecil itu kosong. Ia bersyukur tentu saja. Rumah itu akhirnya berpenghuni dan akan terawat. Tidak menjadi sarang ular atau hantu. 

Pada awal bulan kehadiran wanita itu, rumah itu demikian ramai dengan aktifitas membereskan segalanya hingga menjadi layak disebut rumah. Pohon-pohon besar ditata, ada yang ditebang, ada yang dipertahankan. Cat menyapu dinding-dinding yang kusam, pekarangan menjadi bersih. Beberapa kali, Marko mencium aroma asap dahan dan daun yang terbakar, sesekali merasakan mata perih sebab asap yang datang terbawa angin. Halaman ditanami bunga-bungaan dan bonsai yang pas harus berada di mana. Pagar baru menjadi pembatas pekarangan dan jalan. Dan Marko sempat berpikir, hantu akan lari berhamburan mencari tempat baru. Mungkin rumah kosong yang lain.

Marko ingin menginjakkan kaki ke pekarangan rumah itu. Menyapa dan berkenalan, atau bertanya jawab perihal bunga atau bonsai. Tapi rupanya, kakinya tak juga beranjak ke seberang jalan. Bahkan hingga kini. Hingga perlahan, keramaian rumah itu berkurang sedikit demi sedikit, seiring perubahan rumah hantu itu menjadi istana kecil yang begitu asri. Meninggalkan seorang wanita dan gadis kecil yang selalu hadir dengan payung dan boneka kecil di sisi wanita itu. Lalu sebuah kios berdiri. Berbagai bunga potong mengisi vas-vas di dalam kiosnya. Di samping rumahnya, sebuah green house berdiri, Marko sempat melihat wanita itu bersama pekerjanya mengangkut banyak bibit tanaman yang dikeluarkan dari mobil box ke arah green house-nya. Dan dua bulan lalu, sebuah papan kecil seukuran penanda rumah RW di tempelkan di depan kiosnya, "Kios Bunga Sakura". Cukup jelas terbaca dari kursi Marko saat menikmati kesendiriannya di beranda rumah. 

Sakura, tiba-tiba Marko membayangkan kulit wanita itu seputih sakura. Wajahnya jelas terlihat, dan memang demikian adanya. Jika menyelaraskan dengan wajahnya, tentu bisa ia pastikan seperti bayangannya. 

"Namanya Sora, Ibu Sora,"tiba-tiba Mang Ujang memecah lamunan Marko. 

Lelaki kampung yang menduda hampir dua puluh tahun itu meminta Marko untuk menerimanya sebagai pembantu. Tak ada alasan bagi Marko untuk menolaknya. Marko melihat matanya yang jujur, dan ia memang membutuhkan teman. Mang Ujang tinggal di salah satu bangunan di belakang rumah utama. Sengaja Marko bangun memang untuk pembantunya. Kadang Mang Ujang membawa cucunya ke rumahnya dan menginap. Pada saat itu Marko akan merasakan rumahnya semarak. Suara celoteh bocah yang menelusup ke segenap ruang rumahnya. Kehidupan yang bernyanyi. Maka, Marko sering meminta Mang Ujang membawa cucunya ke rumahnya. 

"Ah, Mang Ujang sok tahu," Marko menyahut. 

"Bukan sok tahu, Mang Ujang ini suka merhatiin semua hal yang dilakukan Den Marko. Termasuk apa yang Den Marko lakukan di beranda ini. Mata Den Marko sepertinya tak lepas dari Kios Bunga Sakura," Mang Ujang berkata. Membuat Marko tak berkutik. Perilakunya ditelanjangi Mang Ujang.

"Iya...iya, ngaku saya, terus Mang Ujang tahu apalagi tentang wanita itu?", Marko akhirnya mengaku.

"Carilah tahu sendiri, sebuah nama sudah cukup untuk mencari jawab pada rasa penasaran Den Marko berikutnya," Mang Ujang menjawab. Berdiri dan beranjak ke belakang rumah melalui pintu samping pekarangan.

Marko menyukai pembantunya itu. Ia tidak seperti warga kampung kebanyakan. Pengetahuannya lumayan luas. Marko sering mendapati Mang Ujang membaca buku-buku di perpustakaan rumah. Kadang bertanya sesuatu padanya, yang Marko tahu berasal dari buku yang dibacanya. 

"Sora," Marko mendesis. Tiba-tiba ia teringat penyanyi Mayumi Itsuwa, ia mencari lagu yang begitu akrab di telinganya, Sora

---

Marko percaya tidak ada yang serba kebetulan di muka bumi ini. "Aita kuchi e bota-mochi", kotowaza yang berarti mochi jatuh ke mulut yang terbuka itu, bisa jadi bermakna kebetulan. Tapi, bagi Marko pasti ada sebab "kebetulan" itu terjadi. Ada alasan mulut terbuka, ada alasan mochi dijatuhkan atau disambitkan ke mulut, atau kenapa mulut "itu" yang terpilih menerima mochi. Ada kait-terkait sesuatu dengan sesuatu, akibat sesuatu karena sesuatu.

Pagi itu, rumahnya ramai dengan celoteh bocah. Marko terusik mendengar celoteh dua bocah dengan suara yang khas kanak-kanak. Imajinasi yang tak ada batasan, kepolosan yang tak ada duanya.

"Kamu tahu nggak, ibuku seorang bidadali, tadi masak nasi goleng dengan telol yang diambil dali solga," bocah perempuan berkata.

"Ayahku buluh, tapi sebenalnya dia pangelan yang sedang dikutuk," suara bocah laki-laki menyahut.

Marko tergelak, ia melangkah ke arah suara. Di ruang tengah sepasang bocah duduk di lantai. Bocah perempuan dengan payung dan boneka kecil, bocah laki-laki dengan sebilah pedang mainan dari papan. Tentu saja Marko mengenal mereka.

"Hey, siapa ini malaikat kecil yang pagi-pagi sudah bernyanyi?", Marko tak tahan akhirnya nimbrung di antara dua bocah itu.

"Sakula om, ih, om belum mandi, bau, taik matanya masih nempel," bocah perempuan itu menyahut. Membuat Marko terbahak-bahak. 

"Oke, oke, Om mandi dulu ya," Marko berkata sembari menuju ke kamarnya. Membasuh tubuhnya dengan air yang mengalir jernih. Merasakan kesejukan yang menembus pori-pori kulitnya. 

---

Jiwa kanak-kanak adalah nyanyian yang senantiasa berdengung di telinga kita. Tak henti mengajak kita bersenandung. Dan begitulah Marko, dari pagi hingga menjelang matahari di pucuk hari, mengulang kembali masa kanak-kanaknya. Berlarian di halaman belakang, di sela-sela furniture rumahnya, menjadi juru dongeng, hingga meninabobokan dua tamu bocahnya.

Ia sedang menikmati kopi secangkir robusta ketika sebuah suara yang asing mengalun dari pintu rumahnya.

"Selamat siang, permisi," merdu sekali suara itu mampir di telinga Marko. Marko ingin mendengar lagi ulangan suaranya. Ia berdiam. 
"Permisi," nah, sebuah refrain yang lebih bertenaga. Marko ingin mendengar lagi.
"Permisi!", refrain yang akhirnya membuat Marko berdiri menuju pintu. Ia mendapati sosok yang selama ini berjarak halaman rumahnya dan jalan itu berdiri di depannya.

"Ya, oh, ya, silakan masuk,"Marko tergagap.

"Tidak, terimakasih, saya mau jemput Sakura, ini waktunya makan siang," perempuan itu berkata. Matanya menyapu ruangan rumah Marko. Matanya tertumbuk pada karpet tebal di tengah ruangan. Dua bocah sedang tertidur pulas. Sakura tertidur memeluk bonekanya. 

"Jangan khawatir, sebelum tidur kami telah makan zosui bersama," Marko berkata. Memudarkan kekhawatiran tamunya.

"Ah, terimakasih, anda baik sekali, saya patut berterima kasih kepada anda," perempuan itu berkata. Rasa sungkannya merebak.

"Saya yang harus berterima kasih kepada mereka, pagi saya sangat ramai hari ini," Marko menyahut. "Nama saya Marko, anda tak perlu sungkan sama saya," Marko menyambung, mencoba menghapus jarak. Ia ulurkan tangan kepada perempuan itu.

"Ah ya, saya Sora," perempuan itu menyahut. Menyambut uluran tangan Marko. Terasa hangat dalam genggaman tangan Marko.

"Mari duduk," Marko tersadar mereka masih berdiri di pintu.

"Terimakasih, saya harus menjaga toko. Saya sudah tenang, saya menitip Sakura sampai bangun, saya mengundang Marko minum kopi nanti sore, sebagai ucapan terimakasih saya," perempuan itu berkata sambil membungkukkan badan. 

Marko membalas dengan bungah memenuhi dadanya. Ia menatap wajah perempuan itu. "Saya akan datang nanti sore," ia berkata.

Sora membalikkan badan. Anggun ia menuju rumahnya. Marko masih berdiri menatapnya. Tak sadar ia menyenandungkan lirik Sora.

"sora sora omae ga iki te iru 
konna nichi ka kokoro mo sumu
sora sora yume ha mada shitsu kusa nai sa "

Wajah Sora seketika bersemu merah. Senyumnya merekah. Tentu saja Marko tak melihat. Tapi suasana hatinya bersenandung, lagu Sora itu ia ulang berkali-kali, tak tahu kapan berhenti.

2023

Comments

Popular posts from this blog

Lebaran di Jogja (bag. 1)

Pulang : Kritik Cerdas Toha Mohtar