Pulang : Kritik Cerdas Toha Mohtar


Foto : Koleksi pribadi

Tamin akhirnya pulang setelah pengembaraan panjang sebagai Heiho yang dikirim ke Burma oleh Jepang. Tentu saja ia pulang bukan sebagai pejuang. Ia tentara yang dikirimkan kekaisaran Jepang ke perang Asia Pasifik, wilayah Burma.

Tujuan kepulangannya adalah menggarap sawah keluarga. Tak ada impian lain yang terlintas di kepalanya selain menggarap sawah. Namun, sawah keluarga yang begitu ia harapkan, ternyata telah tergadai. Berbekal gaji Heiho yang ia kumpulkan, dan perhiasan dari istrinya yang meninggal saat melahirkan anaknya, ia menebus sawah keluarganya kembali.

Dua teman kecilnya Pardan dan Gamik meninggal sebagai pahlawan saat berperang melawan tentara Belanda. Menjadi ikon desanya. Kepahlawanan di desa itu, selalu terkait Pardan dan Gamik. Tamin merasakan dirinya bukanlah siapa-siapa, terlebih saat ia diminta bercerita tentang dirinya saat peperangan terjadi. Lahirlah cerita kebohongannya. Dan Tamin akhirnya tak tahan berada di desanya, ia minggat, kembali mengembara demi terhindar dari kebohongan yang lahir dari dirinya. Rasa malu yang menjadi siksa baginya.

Membaca karya sastrawan lama, bagi saya sama dengan membaca kehidupan manusia di masa itu. Ketika karya itu dituliskan. Pulang, novel karya Toha Mohtar yang suka memakai nama-nama samaran dalam karya-karyanya, bagi saya menjadi sebuah kritik kehidupan masyarakat. Tidak saja pada masa novel tersebut dituliskan, tetapi kritik cerdas pada masa yang tengah kita jalani saat ini.

Mari kita sedikit pelototkan mata pada kondisi saat ini, kepahlawanan anak bangsa melalui prestasi apa saja, para pejabat berlomba-lomba turut bersorak hore, nebeng tenar. Mengantri selfi seperti anak-anak abege di mall ngantri selfi dengan aktor drakor. Di lain waktu sibuk mencari kambing hitam dan ramai turut membully ketika prestasi tak sesuai harapan. 

Pada saat ini rasa malu menjadi sesuatu yang langka. Ketenaran menjadi dewa, patut diraih dengan segala cara. Buzzer-buzzer dikerahkan, kesalahan bukan sebuah kecacatan. Cukup menuliskan kata maaf yang terlihat basa-basi. Saya pikir, kita semua perlu membaca buku-buku fiksi. Roman-roman, novel, atau cerpen-cerpen supaya kepala kita tak penuh dengan segala macam teori-teori yang hanya menjadi retorika belaka. 

Kita perlu belajar pada Tamin, mempunyai rasa malu yang besar, sadar pada kemampuan diri. Cukuplah ngurus sawah dan membuktikannya hingga panen tiba. Atau menembangkan Asmaradana ketika malam tiba, agar anak-anak lelap tertidur, dan tembang itu menghantar mimpi remaja yang tengah dilanda asmara. Ya, seperti Tamin.

2022

Comments

Popular posts from this blog

Sora

Lebaran di Jogja (bag. 1)