Rajo Angek

Ilustrasi : Pixabay

Dalam perjalanan ke kantor pagi tadi, macet saya temui di sepanjang jalan A.H. Nasution dan Surapati Bandung. Kendaraan seperti siput-siput yang bergerak. Beruntung istri sudah mewanti-wanti untuk membawa beat yang tidak ia pakai hari ini. 

Saya kapok tidak menuruti kata istri, dulu pernah sekali karena kesiangan, istri menyuruh saya memakai motor beatnya. Tapi karena saat itu lagi senang bernostalgia dengan Astrea Grand, saya menampik. Hasilnya belum satu kilo perjalanan, ban motor bocor. Terpaksa balik kerumah dan memakai beat istri. Tentu saja dibarengi dengan omelan yang menyalahkan saya.

Naluri istri ternyata terbukti. Saya meliuk di antara mobil-mobil pribadi dan angkot, mengejar jadwal branch hudle sebelum jam kerja dimulai. 

Selepas Gedung Sate, jalanan ternyata sepi. Saya turunkan kecepatan motor sembari menghirup udara pagi yang segar. Dari Gedung Sate, ke kantor cukup ditempuh dalam waktu tujuh menit. Dan waktu saya masih terlalu longgar sampai branch hudle dimulai.

Pikiran saya melayang-layang ke segala penjuru hidup yang telah berlalu. Tiba-tiba sebuah nama julukan teman kelas saya dahulu terlintas, "Rajo Angek". Nama sebenarnya Paryanto. Namun di kampung kami, hanya orang-orang tua yang memanggilnya "Yanto". Kami teman-teman sebayanya lebih senang memanggilnya Rajo Angek. Saya tahu, tidak demikian dengannya. Pasti dia tidak suka dengan julukan namanya.

Di tempat saya menikmati masa kanak-kanak hingga remaja dahulu, sebagian besar warga merupakan pensiunan tentara. Ya, kampung kami merupakan daerah Transmigrasi Angkatan Darat (Transad) yang merupakan program pemerintah Orde Baru. Masyarakatnya majemuk. Beragam agama dan suku berkumpul. Berbaur dengan masyarakat lokal. Saya membayangkan, Indonesia kecil hadir di kampung kami, kampung bernama Ophir. Kelapa sawit menjadi komoditas utamanya.

Rajo Angek dalam bahasa Minang, berarti Raja Panas. Julukan itu merujuk pada sikapnya yang gampang emosi. Paryanto begitu cepat naik darah. Tersinggung sedikit, ia marah, bawaannya selalu marah. Mulutnya kalau kami menyebut dalam bahasa Jawa selalu mecucu, mungkin kalau dalam bahasa Indonesia identik dengan merengut. Senyumnya nyaris tak pernah hadir.

Bahkan dalam kelucuan-kelucuan tingkah teman-temannya, tingkah kami, rasanya tak ada yang bisa bisa menarik garis bibirnya membentuk senyum. Jutek!. Begitulah gambarannya. Maka julukan itu rasanya sangat tepat. Dan begitulah nama itu melekat padanya. Tentu saja saya tak pernah mau berurusan dengannya.

Tubuhnya tinggi besar. Dagok, kata orang Jawa. Tenaganya besar, dan ia buktikan dengan membantu orangtuanya merawat kebun kelapa sawit, dari pemel, miringi, memupuk, hingga memanen. Ia bisa lakukan pekerjaan itu sendirian. Sementara saya cungkring, kurus seperti sebatang pohon gelagah terpisah dari rumpunnya. Gampang meliuk dan ambruk.

Begitulah nama itu menjadi hantu yang bahkan saya takut untuk mendekat. Hingga bertahun-tahun, saya sekolah ke kota Padang yang berjarak 4 jam perjalanan, saya tak pernah dekat dengannya. Namanya lekat di kepala, tapi tak selangkah pun saya ingin mendekat. 

Pagi tadi, saya menyaksikan begitu banyak Rajo Angek di jalanan. Di tengah kemacetan dari rumah ke kantor, terlihat kepala-kepala yang membara, mulut-mulut yang tak hanya mecucu, tapi menyemburkan api. Dan di gawai ternyata Rajo Angek juga beranak pinak. Jari-jari begitu lihai menulis caci maki. Tubuh saya yang saat ini sebenarnya tak lagi cungkring, nyatanya masih gampang terombang-ambing oleh tiupan kemarahan si Rajo Angek.

Ah, Rajo Angek.

Comments

Popular posts from this blog

Sora

Lebaran di Jogja (bag. 1)

Pulang : Kritik Cerdas Toha Mohtar