Pohon Sukun di Belakang Rumah
![]() |
Ilustrasi : quizizz.com |
Pada akhirnya, tersisa satu pohon sukun itu di belakang rumah. Berkembang dengan begitu pongahnya. Tidak pernah bosan memamerkan buah-buahnya yang bergelantungan, melambai-lambai memanggil kelelawar ketika matang, memberi kami hidangan yang dimasak berbagai rupa oleh ibu. Digoreng, dikukus, dibuat keripik atau terkadang disayur santan dengan campuran daun melinjo dan pete. Apa saja, seingat, sekehendak ibu tanpa pernah sedikitpun kami menolak menyantap olahannya. Dahulu, seorang bule pengawas yang dikirim pemerintah saat menjadikan wilayah kami sebagai perkebunan kelapa sawit, menyebut sukun sebagai buah roti, "broodvrucht", katanya. Dan bule itu, acap mampir hanya untuk menyantap sukun jika musimnya berbuah. Buah tangannya sebundel majalah-majalah berbahasa asing yang hanya aku nikmati gambar-gambarnya.
Beberapa kali, pohon sukun itu ditutuh (dipotong pucuknya) agar tak terlalu tinggi. Lingkar batangnya menjadi besar, bapak membuat tangga bambu yang selalu aku gunakan untuk memanjat dan bermain di cabang-cabangnya. Tentu saja dengan nasehat bapak yang selalu kuingat, "jangan bermain di cabang yang kecil, cabang sukun itu getas, perhatikan cabang-cabang yang lapuk, jangan terlalu tinggi manjatnya, hati-hati memanjat setelah hujan...". Aku nikmati tarzan-tarzanan di pohon itu bersama teman sebayaku.
Di bawah pohon sukun itulah perjalanan hidupku berubah hanya dalam waktu singkat. Dan karena ulahku pula, pohon itu akhirnya menjadi sebuah kenangan.
Mari, kuceritakan selayang.
Tak ada anak sebodoh Limbuk di kampung sekitar kami. Sekolah dengan empat ruang kelas yang dua minggu sekali ditilik pastor Italia bermotor trail, dan membawa kami pakansi dengan truk Unimog setelah ujian triwulanan berakhir. Ketika aku masuk SD, Limbuk sudah setahun di sekolah itu. Kelas satu. Tubuhnya bongsor, wajahnya selalu menunduk.
Limbuk berasal dari kampung di atas kampungku. Pagi-pagi benar ia mengayuh sepedanya menuju sekolah. Melewati kampung-kampung yang masih tertidur, udara yang masih berkabut. Kadang di rok dan bajunya menempel tanah, dan aku bisa menebak, ia terjatuh di jalan dengan sepedanya. Ingusnya tak pernah berhenti, sentrap-sentrup hidungnya berbunyi. Selain bodoh, ia juga menjijikkan.
Kami naik ke kelas dua, lalu dia tertinggal di kelas dua ketika kenaikan ke kelas tiga. Setiap kelas, tak pernah mulus ia lewati. Ketika aku kelas tiga SMP, ia keluar sekolah di kelas lima. Bergabung dengan kelompok belajar di kelurahan. Belajar bersama dengan ibu-ibu PKK. Setelahnya, ia tak pernah terlihat di kampungku.
Aku merantau ke kota. Melanjutkan SMA. Lalu ke luar pulau untuk kuliah sesudahnya. Menikmati masa-masa muda selayaknya. Kuliah, berpacaran, sok-sokan kritis, wisuda, lalu kerja. Kerja, bersenang-senang, lalu usia beranjak tak terasa.
Usia tiga dua, ketika untuk sebuah rutinitas tahunan aku pulang. Memasuki kampung yang setiap tahunnya memberi kejutan pada kepulanganku. Kampungku berdandan, kadang beberapa bagian terlihat norak. Entah gincu, atau pupur. Tapi kupahami juga. Seperti abege yang baru belajar berdandan. Ia tengah menuju besar. Kelak, pada waktunya tentu akan sempurna.
Bapak dan Ibu menyambutku. Wajah tua mereka begitu kentara. Beberapa helai alis Bapak telah beruban, keriput tangan Ibu bagai kertas yang diremas penyair ketika tak menemukan kata-kata. Mata mereka begitu cekung, bola matanya bagai kelereng yang jatuh ke tanah liat.
"Kau sudah punya calon istri?", pertanyaan Bapak membuka percakapan.
Kami tengah menikmati makanan keluarga. Sukun goreng. Hanya berbumbu bawang putih dan garam, sukun tua menjelang matang itu terasa nikmat sekali. Wangi bawang dan aroma sukun sudah membuat jakun naik turun sejak berenang di penggorengan.
"Belum Pak, belum ada yang sreg," aku menjawab. Jawaban yang sama sejak pertanyaan itu muncul entah beberapa tahun yang lalu.
"Cari yang gimana tho Dung, karir bagus, rupamu yo ra ngisin-ngisini, pawakan entuk, lha opo ra ono cah wedhok sing seneng karo awakmu?", Ibu turut komentar. Kembali ia tumpahkan potongan sukun goreng ke nampan. Kepulan asapnya mengaburkan aroma tembakau Virginia Bapak.
"Ya nggak tahu Bu, aku juga bingung, berkali-kali pacaran, begitu mau serius keraguan datang, takut aku nggak bisa masuk ke lingkungan keluarganya, takut dia nggak bisa menerima keluarga kita," aku menjawab. Apa adanya. Terbayang wajah-wajah perempuan yang pernah dekat. Dina yang hanya bertahan enam bulan, Riri yang suaranya mirip Evie Tamala, Gina yang anak kolonel, Maya yang begitu panas dan menyenangkan, dan Siti yang entah bagaimana aku gambarkan keelokan tubuhnya. Wajah-wajah itu muncul bagai slide-slide powerpoint stafku mempresentasikan rencana dan hasil kerjanya.
"Lho, kamu yang akan jalani kehidupan rumah tangga tho. Ngapain mikirin kami, mikirin keluarga besarnya. Cukuplah kamu berpikir bagaimana kehidupan keluargamu kelak, kamu itu kejauhan mikirnya. Pantas saja nggak dapat-dapat!", Bapak tampak kesal. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam, menghembuskan asapnya dengan cepat.
Aku menunduk, rasa bersalah tiba-tiba muncul. Aku memakluminya. Sebagai anak tunggal, kekhawatiran Bapak dan Ibu sudah sewajarnya. Keheningan hadir malam itu. Kami terdiam. Bunyi jangkrik nyaring sekali, asalnya dari kebun dan rumput jepang yang terhampar di halaman. Bapak bangkit diikuti Ibu, "tidur Dung, istirahat, kamu pasti capek," Ibu berkata.
Ya, aku perlu istirahat.
___R-G___
Aku kaget ketika keluar kamar pagi itu. Seorang perempuan seusiaku tengah membereskan ruang keluarga. Tubuhnya tinggi, nyaris setinggi aku. Rambutnya dipotong ala Demi Moore dalam film Ghost. Lehernya terlihat jenjang, kulitnya bersih walau warnanya tak bisa menyembunyikan betapa seringnya ia terpapar matahari. Eksotis kata temen buleku.
"Itu Limbuk, teman sekolahmu dulu. Ibu suka meminta tolong beresin rumah, kadang Ibu merasa tak sanggup, tiba-tiba merasa lelah," Ibu berkata dari belakangku.
"Limbuk, sini, kau pasti sudah lupa sama Gadung kan?", Ibu menyambung.
Perempuan itu berbalik, menatapku. Senyumnya membuatku nyaris tak percaya. Limbuk, anak bodoh yang ingusnya tak pernah berhenti itu berubah demikian menarik. Sorot matanya tak seperti si bodoh bertahun-tahun lalu. Ia menghampiriku, memindahkan kemoceng di tangan kanannya ke kiri.
"Ya nggaklah Bu, kan Ibu suka nyuruh saya bacakan surat-surat yang Mas Gadung kirimkan, suka lihat photo yang ia selipkan," Limbuk menyahut. "Mas Gadung yang lupa sama saya Bu," ia berkata.
Tangannya terulur padaku. Masih tak percaya aku menyambutnya. Terasa agak kasar telapak tangannya. Kugenggam erat. Tiba-tiba perasaan aneh mengalir, aneh sekali. Tentu saja kupahami itu.
"Ya, aku pangling sama kamu, kamu beda banget dengan dulu," aku berkata. Meredam keheranan yang tak habis-habis.
"Bodoh dan ingusan maksudmu," ia menyahut, disusul dengan tawanya yang berderai.
Ibu ikut tertawa, aku mengangguk-anggukkan kepala sembari menunjuk-nunjuk dia. Tawa yang tak bisa kutahan.
Pagi itu aku, Ibu, dan Bapak menikmati sarapan bersama. Tak ada pembicaraan tentang jodoh. Obrolan mengalir bagai arus sungai kecil di belakang rumah kami. Begitu tenang dengan bahan masa lalu yang tak pernah bosan kami ungkit kembali. Limbuk tak ikut serta di meja makan. Namun nasi goreng yang ia hidangkan pada kami, terasa nikmat di lidahku. Kudengar suara srek... srek... srek di halaman.
___R-G___
Bapak pergi ke kelurahan mengurus tanah girik yang ia beli di ujung desa. Ibu memenuhi ajakan rewang tetangga yang hanya berjarak lima rumah. Aku menikmati keheningan rumah ini dengan setoples keripik sukun dan sisa kopi pagi di beranda rumah. Roman Hulubalang Raja-nya Nur Sutan Iskandar yang kuambil dari rak buku tergeletak di meja. Inilah aktivitas yang paling aku suka saat pulang. Membuka-buka kembali buku lama, menikmati kata-kata yang tak pernah habis dituliskan para pujangga. Kenikmatan berpetualang pada gaya, dan rasa bahasa. Kerisauan lama yang bertahan hingga kini.
"Roman itu sudah aku baca berkali-kali, ibumu yang menyuruhku membaca ketika pertama kali memintaku membantunya. Kadang kami membaca bersama, setelahnya aku jadi ketagihan membaca buku-buku di sini. Ada tulisanmu di halaman kosong, kalau punya anak perempuan pingin kau kasih nama Ambun Suri," tiba-tiba Limbuk duduk berjarak meja denganku. Aku mengangkat kepala. Tertawa mendengar kata terakhirnya. Menatapnya. Segelas syrup dengan es batu yang mengapung masih berada di tangannya.
Heran yang tak kunjung berkurang memenuhi kepalaku. Aku yakin banyak pengetahuan yang tak kutahu di dalam kepala si bodoh itu. Banyak yang ingin kutanyakan atas perubahan pada dirinya, tapi yang keluar dari mulutku justru, "sudah berapa anakmu?".
Wajah Limbuk memerah sesaat. "Aku belum kawin Mas," lugas sekali ia menjawab. "Dulu hampir, dengan Sapto, kau ingat Sapto kan?", ia balas bertanya.
"Ya, pastilah. Aku semeja dengannya selama SD," aku menjawab. Sapto anak lurah. Semua anak ingin semeja dengannya, tapi ia memilih duduk bersebelahan denganku. Sekarang ia menjadi lurah juga. Mulus sekali jalannya, seolah jabatan lurah sebuah jabatan yang turun temurun.
Mendengar jawaban Limbuk, ada rasa lega juga. Belum menikah. Kembali seperti ada sulur-sulur halus mengilik-ilik aliran darahku. Mataku menatapnya, usianya tiga lima, yah, tiga tahun di atasku. Wajahnya, tak pernah kubayangkan akan semenarik itu di mataku. Ia balas menatapku, tapi segera ia palingkan wajahnya. Terlihat memerah. Dengan rambut ala Demi Moore, segala yang menempel di kepalanya terlihat nyata.
Limbuk bangkit, mengambil gelas kopiku yang telah kosong, membawanya ke belakang. Kudengar suara air mengucur, dan denting barang pecah belah di belakang. Aku melangkah ke halaman, mengikuti kenangan yang menarik-narik kakiku. Kesamping rumah, pohon sawo berbuah lebat. Puluhan buahnya jatuh dengan bekas gigitan kelelawar. Hanya berjarak sepuluh langkah, belimbing juga rimbun buahnya. Kuambil sebiji yang ranum, kesegaran mengalir di tenggorokanku.
Aku terus melangkah pelan. Tiba di belakang rumah. Di depanku pohon sukun seperti raksasa yang menghadangku. Cabang-cabangnya meliuk menahan buah. Beberapa yang matang jatuh dikerumuni lalat buah. Aroma manis menguar di udara. Aku melingkarkan tangan, hanya ujung jari-jariku yang bersentuhan.
Tiba-tiba terdengar suara cekikikan. Limbuk dua depa di belakangku. Mungkin geli melihat tingkahku. "Besar sekali pohon ini," aku berkata akhirnya.
"Ya, mungkin warga seluruh kampung ini pernah merasakan buahnya," Limbuk menyahut. Berdiri di sampingku. Aroma shampo menusuk hidungku. "Air sumur ini juga jernih sekali, kata orang sukun penyimpan air yang baik," ia melanjutkan bicara. Kepalanya melongok ke dalam sumur di samping pohon sukun itu. Aku ikut melongok ke kedalaman sumur. Yah, memang jernih. Kami bersisian, sangat dekat. Dan ketika kutolehkan wajahku ke arahnya, ia juga tengah menatapku. Aku enggan memalingkan wajahku darinya, jariku tiba-tiba menyentuh jemarinya, wajah kami saling mendekat. Dan entah kapan mulainya, bibirnya terasa manis di mulutku. Kudengar desah halus, sangat halus.
Kami terkejut ketika suara dehem Bapak terdengar. Ia berdiri di pintu dapur. Wajahnya tergambar aneh, matanya menatap kami tajam. Limbuk menunduk, jemarinya masih dalam genggamanku. Kurasai keringat di telapak tangannya. Tanpa bicara Bapak masuk. Limbuk menarik tangannya dari genggamanku.
"Aku pulang dulu," ia berkata. Aku mengangguk. Mengikuti langkah kakinya menuju Astrea 700 di samping rumah. Menatap motor itu melaju dengan suara halus, entah degup di dadanya. Apakah seperti yang aku rasai?.
Aku masuk ke dalam rumah. Bapak duduk di kursi tamu. Matanya menatapku.
"Duduklah," ia berkata. Aku duduk di hadapannya. "Malam ini, kita ke rumah orang tua Limbuk, aku dan ibumu akan melamar Limbuk untukmu. Sepertinya ia jawaban dari segala kepayahanmu mencari perempuan selama ini. Ajukan cutimu lebih panjang, kalian akan kawin bulan ini," Bapak berkata.
Aku diam. Mau mendebat apa? Perihal cinta, aku tak pernah bisa menafsirkannya. Limbuk mampu menggetarkan perasaanku. Yang tak pernah kurasakan pada kedekatanku pada teman-teman wanita selama ini. Yah, mungkin ada benarnya kata Bapak.
___R-G___
Pohon sukun di belakang rumah kami akhirnya ditumbangkan Bapak. Sebulan setelah pernikahanku dengan Limbuk. Kata Ibu, Bapak seperti melihat aku dan Limbuk setiap melihat pohon itu. Sumur juga sudah ditimbun. Sebagai gantinya sumur bor dibuat di samping rumah.
Pada akhir tahun pertama pernikahanku dengan Limbuk, anak kami lahir. Bapak berpesan memberi nama anak kami "Angsana", ia katakan dalam surat yang Ibu kirimkan. Pada anak kami kedua tiga tahun kemudian, Ibu yang menitipkan nama, "Ambun Suri". Nama yang membuat Limbuk berbinar matanya.
2022
Comments
Post a Comment