Dia Gayatri, Kita Siapa?
"Di dunia ini, sejatinya tidak ada yang kebetulan. Segala peristiwa yang kita alami sudah ada dalam skenario Yang Maha Kuasa. Termasuk pertemuan kita ini."
Teman kecil saya berkata pada sebuah pertemuan di kota tempat saya tinggal. Itu merupakan pertemuan yang sulit saya percaya. Saya dan teman saya itu sudah hampir tiga dasawarsa tak bertemu. Kabarpun tak pernah saya dengar. Ia tak ada dalam memori otak selama itu. Bahkan ketika saya pulang kampung, ia tak ada dalam list pertanyaan saya pada anggota keluarga sebagai bahan obrolan pemantik kenangan. Namun tiba-tiba ia muncul di kota saya, di hadapan saya dalam temaram lampu cafe. Pakaiannya berkelas dengan aroma parfum yang menguar, kemudaannya terjaga sebagai pertanda kesuksesan yang mengiringi kehidupannya. Ia katakan, di Bandung hanya sebentar membicarakan proyek dengan partner yang kebetulan tinggal di Dago atas. Pertemuan denganku, ia sempatkan setelah pembicaraan dengan rekannya selesai. Kangen katanya. Selanjutnya, ia akan ke Yogyakarta, dan di sanalah ia hidup selama ini sebagai janda dengan tiga anaknya yang beranjak dewasa.
Saya mengiyakan ucapannya.
Jika beberapa waktu lalu saya memesan dua buah buku tulisan penulis Bre Redana melalui nomor WA yang ia bagi dalam status media sosialnya, lalu sebuah buku berjudul Dia Gayatri yang membuat saya tak bisa bergerak sebelum halaman terakhir, maka saya pikir itu juga bukan sebuah kebetulan. Saya sedang memerankan tokoh dari sebuah skenario yang telah dituliskan, jauh sebelum kelahiran saya. Pun tulisan yang saya baca, bisa jadi sebuah rahasia yang diperuntukkan buat penulis, dan dengan kelincahan dan kecerdikan Bre Redana, ia menjelma sebuah novel yang berbunyi nyaring.
Dia Gayatri, novel bertema sejarah Majapahit ini, bagi saya sangat istimewa. Penuturannya begitu lincah, bagai prenjak yang berloncatan dari ranting ke ranting sembari bernyanyi.
Tukang Cerita, sebagai penutur dalam novel ini, menyampaikan dengan bahasa urban. Begitu akrab, terasa nikmat. Loncatan-loncatan jaman kiwari ke masa lalu dan sebaliknya menjadi akrobat yang mengasyikkan.
Pesan-pesan dalam buku ini terlahap tanpa disadari. Ini seperti bocah yang menyantap makanan bergizi, yang ia rasakan kelezatan makanan, namun tanpa ia sadari tubuh berkembang, tinggi, besar, bertambah cerdas.
Hidup adalah tentang sikap. Buah dari sikap yang kita/ siapapun pelihara itulah yang akan dikenang kemudian. Apakah akan menjadi tauladan generasi setelahnya, atau hujatan dan caci maki pada jejak yang ditorehkan. Jayakatwang memilih makar pada kekuasan. Jayanegara menjadi contoh pemimpin tanpa kebijaksanaan, lemah dan plin-plan.
Tentang Gayatri? Mungkin saatnya kita kembali mengasyikkan diri membaca fiksi-fiksi. Fiksi mengajak kita berpikir dan bersiap pada situasi ketidakpastian, kata Wisnu Suryaning Adji, yang juga seorang penulis dan dermawan membagikan tips menulis. Fiksi menyediakan ruang yang begitu luas untuk berimajinasi, tafsir yang jamak untuk dicomot menjadi buah-buah kreativitas yang beraneka ragam rasa, warna, dan aromanya.
Saya membayangkan jaman ini atau di kemudian lahir sosok Gayatri yang dengan sikap teguh memegang prinsip. Menjadi jembatan bagi kebesaran bangsa. Menjadi motor pada perubahan, jeli melihat lobang kelemahan, jeli melihat peluang. Tak menjadi soal ia ada dimana, dan sebagai apa. Ketika keteguhan prinsip mendarah daging, maka ia menjadi bagian dari air yang mengalir. Tetap memberikan kehidupan dan kekuatan pada perubahan-perubahan hingga sampai ke samudera.
Maka, pada babak goro-goro yang entah kapan berakhir ini, kemerdekaan pilihan ada di tangan kita. Menjadi bagian yang turut riuh dengan berbagai macam prasangka, dan adu domba, atau air sungai yang mengalirkan kehidupan di sepanjang perjalanannya. Saya menunggu Gayatri menitis pada sosok pinilih. Yang jelas, semua bukan karena kebetulan belaka. Tabik.
2022
Comments
Post a Comment