Darul
![]() |
Ilustrasi : Pinterest |
Darul mematut diri di depan cermin. Baju satpam membungkus tubuhnya yang kerempeng. Terlihat kedodoran. Namun begitu, Darul terlihat begitu suka cita. Tangannya gemetar membelai emblem satpam di dadanya. Giginya yang kekuningan dan hitam di pangkal gusinya terlihat dalam cermin. Tar tembakau dari rokok linting yang dihisap nyaris tak berjeda meninggalkan jejak di sana.
Kemarin sore, mamaknya memberi kabar, Darul diminta menjadi satpam di komplek yang berbatas dengan kampungnya. Komplek perumahan yang hanya berisi 35 rumah dengan tembok tinggi yang mengelilinginya. Rumah-rumah komplek dengan halaman seluas pekarangan rumahnya. Rumah-rumah yang selalu tertutup pintu pagarnya, yang hanya pembantu-pembantu rumah yang terlihat mondar-mandir di jalan komplek, bergerombol genit mengelilingi tukang sayur, atau sekedar ngerumpi di pagar rumah majikan.
Satpam adalah cita-cita tertinggi Darul. Di kepalanya, berseragam satpam tak kalah gagah dengan polisi atau tentara yang pernah ditemuinya. Tak kalah wibawanya di mata para gadis kampung atas. Kampung dimana perempuan bernama Leha tinggal bersama bapaknya yang menahun kena TBC. Perempuan yang dari gadis hingga saat ini menjanda tak pernah beranjak hilang dari kepala Darul. Darul kembali menyungging senyum membayangkan Leha. Harapannya kembali merebak, dengan gaji pertamanya bulan depan, ia akan bertandang ke rumah Leha dengan seragam satpamnya.
___r.g.___
Tidak seorangpun warga kampung menyangsikan kejujuran Darul. Sebagaimana tak seorangpun warga tidak sepakat ringan tangannya Darul melakukan apa yang diminta oleh warga. Dari menimba mengisi bak air masjid kampung, atau mencari ayam yang tidak masuk kandang di kala petang, warga tak sungkan meminta bantuannya.
Darul hanya jebolan kelas lima SD. Modal menjalani hidupnya, bisa membaca dan menulis. Darul merasa sudah cukup. Ia tidak pernah mengeluhkan kemiskinannya. Setidaknya ia tak pernah tertipu menerima kembalian uang belanja jika pergi ke warung, atau masih bisa membacakan surat atau pesan jika diminta tolong oleh tetangganya.
Belum pukul sepuluh malam.
Darul sudah berada di pos satpam sejak jam 5 sore. Satpam senior, Pak Usman yang pensiunan sersan, sore tadi membawanya berkeliling komplek. Menjelaskan tugas yang harus ia lakukan sebagai satpam. Memperkenalkan pada warga atau pembantu rumah yang kebetulan bertemu, menjelaskan nama pemilik rumah dan kapan biasanya pulang. Hari dan jamnya. Tak lupa, kapan ia harus berkeliling komplek dan memeriksa pintu-pintu pagar rumah dan memastikan keamanannya. Setelahnya, pak Usman pamit pulang. Darul duduk dengan bangga di pos. Ia seperti penguasa wilayah perumahan kecil itu.
Rumah nomor 3, pemiliknya bernama Tuan Pinto. Anggota DPRD kabupaten. Tentu saja Darul akan mengingat nama itu lebih. Kemarin sore, mamaknya menyebut nama itu.
"Tuan Pinto, ketemu pak RT, meminta kau jadi satpam komplek. Bergantian tugas dengan pak Usman. Kau dapat tugas jaga malam, pak Usman tidak sanggup kalau jaga malam karena rematik," mamaknya menjelaskan.
Satu setel seragam satpam menguatkan penjelasan mamaknya. Lengkap dengan sepatu dan topinya. Darul merasa, doanya selama ini tak sia-sia. Ia memeluk mamaknya erat.
Sekarang, Darul duduk di kursi impian. Segelas kopi mengepul di hadapannya. Rokok kretek pabrikan jatah satpam mengganti rokok lintingan yang biasa ia hisap. Aromanya begitu berbeda. Darul dalam-dalam menghisap. Menghembuskannya perlahan. Begitu menikmati. Sebelum pamit pulang tadi, Pak Usman meninggalkan sekantong keripik pisang untuk camilan malam.
"Kalau kau lapar, ada mie instan di bawah meja," Pak Usman menambahkan. Dan Darul mendapati sekardus mie instan rebus di situ.
Orang tua yang baik, Darul membatin.
Sembari mengunyah keripik pisang, ingatan Darul melayang ke kampung atas. Senyum Leha menggodanya.
Dulu mereka satu sekolah. Leha beruntung bisa tamat SD, dibandingkan dirinya yang terpaksa keluar sebelum naik kelas enam. Ketika remaja mereka kembali bertemu. Tak perlu alasan apapun untuk Darul jatuh cinta.
Leha membantu orangtuanya dengan menjadi tukang cuci dan akhirnya menjadi pembantu di kota, sedangkan Darul serabutan apa saja dengan tenaganya. Leha mengiyakan ungkapan cinta Darul tanpa basa-basi.
Namun tidak dengan Bapak Leha. Leha perlu perubahan. Bersama Darul, kemiskinan Leha tentu akan berumur lebih panjang. Bapak Leha pun tanpa basa-basi menolak Darul. Dan ketika seorang sopir angkot meminang Leha, cinta Darul seperti dimutilasi.
Rumah tangga Leha tak berumur panjang. Hanya dua tahun. Suami Leha meninggal karena kecelakaan. Leha kembali ke bapaknya dengan membawa bayinya. Cinta Darul kembali berpijar. Nyatanya ia tak pernah mematikan cintanya. Ia belum pernah menemui Leha sejak kembali ke kampung atas enam bulan lalu. Tapi, dengan seragam yang ia kenakan kini, ia bertekad akan menemuinya.
Suara klakson mengagetkan lamunan Darul. Ia segera berdiri, dan membuka palang masuk komplek. Sebuah Pajero perlahan melewati pos satpam. Jendelanya terbuka. Wajah seorang lelaki baya menyembul dengan senyum.
"Kau pasti Darul ya," ia berseru
"Siap, benar Tuan!", Darul menganggukkan kepala. Ia berjalan menghampiri mobil yang berhenti.
Darul merasa akrab dengan wajah itu. Ia mengernyitkan kening mengingat wajah di dalam mobil. Ah, iya, wajah yang bicara di mesjid kampung menjelang pemilu beberapa waktu lalu. Wajah yang ia coblos pada hari pemilu. Wajah Tuan Pinto, seperti yang disebut oleh mamaknya kemarin sore.
"Terimakasih Tuan memberi pekerjaan pada saya di sini," Darul berkata begitu berada di samping jendela mobil itu.
"Sama-sama, bekerjalah yang baik," lelaki itu berkata.
"Eh, Darul, tolong nanti kau kasih jalan pada ojek yang membawa tukang pijat saya, mungkin setengah jam lagi sampai di sini," lelaki bernama Pinto itu tiba-tiba menghentikan mobilnya dan berkata pada Darul.
"Baik Tuan," Darul menyahut.
___r.g.___
Hampir pukul dua belas malam. Tak sedikitpun kantuk hinggap di mata Darul. Dingin yang menyergap ia abaikan. Pukul dua belas tepat nanti, waktunya ia keliling komplek. Memeriksa satu persatu pagar rumah dan memukul tiang listrik di ujung komplek.
Darul mengaduk kopinya. Gelas kopi ketiganya sejak sore tadi.
Sebuah kilatan lampu motor membuatnya mengangkat kepala. Ojek dan penumpangnya berhenti di depan pintu masuk komplek. Darul menaikkan palang. Ia teringat pesan Tuan Pinto.
Ia menghampiri pengendara motor.
"Mau mengantarkan Ibu ini ke rumah nomor 3," pengendara motor itu mendahului bicara.
Darul mengangguk. Ia memandang wajah lelaki yang memegang stang motor, lalu memandang wajah penumpangnya.
Lelaki itu melajukan motornya. Darul mematung. "Leha," ia berkata lirih. Sangat lirih. Darul masih berdiri memegang tali palang pintu komplek ketika tukang ojek itu melaluinya sambil mengangguk.
Tiba-tiba Darul merasa gerah. Jam di dinding pos satpam berdentang dua belas kali. Baju satpam yang kedodoran begitu menyiksa. Darul rindu memenuhi bak air masjid kampung di hari pertama tugas satpamnya malam ini.
2022
Comments
Post a Comment