Kebersamaan yang Mahal

Jaka Sembung, sumber https://id.wikipedia.org/

Membaca Udar Rasa Bung Bre Redana di Kompas berjudul "Robohnya Kebersamaan Kita" tanggal 05 Juni 2022, saya tengah berada di kawasan bumi perkemahan Batu Kuda. Wilayah yang adem, berada di kaki gunung Manglayang dengan pohon-pohon pinus yang berbaris rapi. Beberapa ayunan terkait antara dua pohon pinus. Anak-anak dan orang dewasa tak ada beda. Meluapkan kegembiraan kanak-kanaknya, memerdekakan jiwanya.

Sinyal penyedia layanan seluler begitu payah. Ada baiknya juga. Mereka, keluarga-keluarga yang ngampar di rerumputan dengan alas tikar (kebanyakan sintetis), yang mereka bawa dari rumah atau sewa berkesempatan ngobrol dengan anggota keluarganya. Gawai hanya sekedar merekam kenangan, memotret atau memvideokan aktivitas anak-anak, pasangan, atau alam yang indahnya menjadi-jadi ketika sinar matahari seperti pecahan-pecahan kaca di rerumputan. Saya menghirup udara memenuhi paru-paru, menghisap oksigen sepuasnya.

Menyaksikan kebersamaan keluarga di depan mata, dengan segala aktivitas yang demikian ceria, saya berdoa dalam hati sembari meraba pohon pinus yang menjulang, "semoga kebersamaan dan kegembiraan kekal dalam keluarga-keluarga itu." Pohon pinus meliukkan pucuknya, saya berharap doa saya diteruskan ke Sang Pencipta.

Saya mungkin generasi yang gamang dengan kemajuan saat ini. Segala peranti kehidupan begitu gila berkembang. Segala keinginan dapat dengan instan tersaji. Hanya dengan gawai, kita seperti ratu yang ngawe-awe ke baturnya untuk menyediakan keinginan. Tentu saja dengan biaya.

Yang mahal saat ini adalah kebersamaan. Kata-kata itu menjadi barang yang harus ditebus dengan biaya tinggi. Perusahaan-perusahaan besar perlu menganggarkan jauh hari untuk mengadakan acara kebersamaan karyawannya, kalau perlu dengan keluarga supaya keharmonisan keluarga berdampak positif di tempat kerja. Antar karyawan tercipta hubungan akrab. Perusahaan kecil, tak mau kalah, menyediakan waktu berkumpul dengan seuprit karyawannya di tempat murah, seperti di Batu Kuda ini. Demi kebersamaan juga. 

Nyatanya, hal-hal purba warisan hasil renungan mungkin semadi yang panjang para leluhur tidak bisa digantikan dengan benda-benda yang diciptakan saat ini. Manusia memerlukan sentuhan, membaca gerak bibir, arti tatapan mata, bahkan isyarat gerak tubuh. Tulisan-tulisan dalam fiksi mencoba menterjemahkan aktivitas lakon senyata apa yang penulis indrai.

Dan jika, karena kemajuan yang tak mungkin terbendung, maka fiksi-fiksi yang tercetak dan kita nikmati saat ini, boleh jadi, akan menjadi sebuah kerinduan anak-anak masa depan untuk kembali ke masa kita. Seperti kita rindu melihat Jaka Sembung yang berlompatan di atas wuwungan.  Atau Miss Oishi yang mengayuh sepedanya menuju sekolah Desa Tanjung, tempatnya mengajar, dalam Novel Twenty - Four Eyes - nya Sakae Tsuboi.

/2022

Comments

Popular posts from this blog

Sora

Lebaran di Jogja (bag. 1)

Pulang : Kritik Cerdas Toha Mohtar