Duka Manis, Menuliskan Kehilangan Agar Dikenang

Duka Manis

Tiga paragraf awal di "Pengantar Penyair" dalam buku ini berisi nasehat yang penting bagi semua orang. Bukan hanya penyair. Jika kita, termasuk di dalamnya saya, yang bukan penyair, maka akan saya terjemahkan singkat saja, "jangan pernah bermain-main dengan cinta, jika kau lakukan, celaka sebagai imbalannya".

Cinta adalah kesucian. Kebeningan jiwa yang mendasarinya. Rasa kasih yang menggerakkan segenap perilaku. Dan bagi penyair, cinta merupakan bahan baku syair yang tak pernah habis dituliskan. Sejak jaman dulu syair-syair cinta lahir, kini dan di kemudian hari masih akan lahir lagi. Keajaiban isi kepala manusia, berterima kasihlah kepada yang memberi cinta, Yang Maha Cinta.

Pernyataan penyair di akhir pengantar buku ini sangat apik, "Penyair dan sajak, seharusnya dipertemukan oleh Cinta".

Buku puisi ini berisi 99 puisi. Ingatan saya langsung merujuk ke 99 nama-nama Allah SWT. Dibuka dengan puisi yang memanfaatkan perangkat repetisi di awal baris.
Antara Bermimpi dan Terjaga

Seperti malam turun menjadi hutan
Seperti seseorang dari kanvas Jeihan
Seperti gunung dihidupkan oleh hujan
Seperti uraian embun di bangku taman
Seperti laut menyimpan bunyi angin
Seperti pendahulu azan di menara musala
Seperti hadir madu pada jantung bunga
Puisi apik dengan struktur yang ketat. Berbunyi begitu nyaring dan merdu, saya bayangkan suara Whitney Houston yang melantunkan refrain sebuah lagu hingga klimaks. Saya di antara para penonton yang berdiri terpuaskan.

Tentu saja makna bisa berbeda pada setiap penikmatnya. Tapi, bagi saya ini tentang segala keagungan dan keindahan yang luar biasa, hingga sang penyair berada di antara percaya dan tidak dengan apa yang di-indra-i-nya. Cinta mengalir dengan curah yang pasti dari mata air, gemericik merdu, jatuh di pemandian para bidadari.

Bagaimana dengan kehilangan? Ya, cinta memang tak selalu kita genggam. Ada saat di mana cinta menjadi rasa sakit. Dan ia menjelma rasa kehilangan yang sangat dalam. Mari kita simak puisi "Kamus Kehilangan" di halaman 73.
Kamus Kehilangan

Kita seperti sepasang penyusun Kamus Kehilangan, 
bertanya pada semua kata, mahir mengartikan Wiji
dan Munir, cermat menjabarkan tahun dan Tuhan.

Untuk sebuah Kata, kita pernah berdebat panjang
Engkau ingin kata itu kita lupakan saja. Sementara
aku ingin kata itu kita perjelas, sejelas-jelasnya.
Wiji Thukul dan Munir merupakan dua sosok tokoh yang hilang (atau dihilangkan?) di negeri ini. Wiji hilang tanpa pernah kita ketahui di mana jasadnya, sedangkan Munir hilang nyawanya dalam sebuah penerbangan menuju Belanda. Mereka menjadi kehilangan besar bagi bangsa ini. 

Kepiawaian penyair menjadikan dua tokoh negeri sebagai bentuk rasa kehilangan yang besar sangat koheren. Wiji dan Munir merupakan tokoh-tokoh yang sangat dicintai akar rumput. Mereka simbol perjuangan orang-orang kecil. Kehilangan mereka adalah air mata yang akan terus mengalir, mengingat mereka adalah pertanyaan pada negara. Sebab apa? Siapa pelakunya? Sampai di mana penyelidikan yang hingga berganti rejim tak kunjung selesai? 

Pertentangan "Engkau" dan "Aku" perihal kehilangan menjadi hidup. Alusi yang dipakai sebagai perangkat oleh penyair begitu tepat. Puisi ini menjadi begitu dewasa dalam menggambarkan rasa kehilangan.

Sajak "Duka Manis" yang menjadi judul buku, memang terasa manis. Duka yang manis. Lagi-lagi alusi menjadi perangkat yang baik. Dibuka dengan omongan Juliet kepada Romeo.

Duka Manis

Sweet, so would I,
Yes I should kill thee with much cherishing
Good night, good night! Parting is such sweet sorrow,
That I shall say good night till it be morrow
Juliet to Romeo 

Karena disentuh hati, menangis piano ini
seperti ilustrasi bagi adegan perpisahan

aku Kekasih menegaskan janji, sekali lagi
mengecupi kuncup jemari di pucuk tangan

O, harap tak habis, O, duka amat manis

Kerena dipeluk hati, merintih biola ini
seperti mengalir air mata jadi sendu suara

kau Kekasih mengukur jarak ke batas mimpi
menaksir seberapa jauh yang mampu tertempuh

O, ingin tak tertepis, O, duka amat manis

Saya mengajak pembaca membayangkan sebagai pemain musik. Seseorang yang mencintai musik dalam hidupnya. Apa yang akan diberikan alat musik, ketika jemari kita, tangan kita memainkannya? Ah, tentu bunyi yang begitu indah untuk kita dengarkan bukan? Lalu ketika perasaan kita libatkan dalam memainkannya, bisa kita bayangkan telinga pendengar akan mengindra-i bagaimana suasana hati sang pemain. Kejujuran adalah kunci dalam kita melakukan apa saja. Apalagi menuliskannya. 

Untuk puisi Duka Manis, saya ingin mengatakan juga, Duka bisa saja terasa manis, ketika kita memetik hikmah dari sebab dan akibat duka yang kita rasai. Maka saya tutup tulisan ini dengan petikan sebuah puisi di buku ini:

"Cinta adalah tenaga. Kerena itu, engkau adalah kekuatanku.
Cintamu adalah jawaban, bagi hidupku yang
selalu penuh pertanyaan."

Salam.

Comments

Popular posts from this blog

Sora

Lebaran di Jogja (bag. 1)

Pulang : Kritik Cerdas Toha Mohtar