Dari Kota Baru, Mencoba Menghalau Ketakutan
Minggu pagi, 15 Mei 2022, saya menikmati sarapan secangkir kopi Aroma Banceuy yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kota Bandung. Sepiring pisang goreng menjadi lawan sepadan pada pahit rasa kopi. Paradoks yang asyik kata Penyair Hasan Aspahani. Saya menikmati di beranda, sembari menyaksikan keluarga-keluarga yang berbahagia jalan pagi. Bersyukurlah mereka yang paling tidak, punya waktu beberapa jam mengakrabkan diri dalam keluarga.
Istri saya sibuk merancang pola seragam sekolah SMP, pesanan dari Banjarmasin. Sayup-sayup terdengar suara Dolly Parton dari pemutar musik Spotify gratisan. Pembicaraan antara saya dan istri, pagi ini hanya beberapa. Dimulai dengan pertanyaan mau sarapan apa, mau mendengarkan lagu apa, lalu minta izin sibuk dengan pekerjaan menyelesaikan orderan baju seragam itu. Saya menyibukkan diri dengan gawai.
Tiba-tiba mata saya tertuju pada buku Bre Redana, "Kritik, Fakta, Fiksi" yang selalu berada di meja tamu. Saya menjemba dan mulai kembali membuka-buka halaman buku. Satu judul terbaca, lalu dua judul tulisan berikutnya saya lahap bersama pisang goreng dan sepoi angin pagi.
Saya hanya rakyat yang bodoh, mencoba mengurai, menterjemahkan apa yang telah penulis kesayangan saya ini uraikan dalam tulisannya.
Ketika membaca tulisan beliau, saya selalu merasa, beliau menuliskan apa yang ada dalam kepala saya. Itulah mengapa, buku itu menjadi demikian akrab untuk saya stabilo dan merasakan belaian tangan kasar wong-wong ngisor seperti saya ini. Lecek sudah pasti, tapi saya selalu membayangkan buku ya, mustinya begitu. Saya teringat buku-buku di perpustakaan sekolah jaman dulu lecek tak karuan, tapi selalu asyik saya baca di waktu istirahat sekolah, atau Al Qur'an di langgar yang lecek hingga robek dan hilang sampulnya, tetap menjadi rebutan anak-anak di langgar untuk membawanya ke depan ustadz yang menyimak bacaan kami.
Kembali ke buku "Kritik, Fakta, Fiksi", judul pertama yang saya baca "Kota Baru".
Selalu ada ketakutan pada sebuah perubahan apalagi kebaruan. Sejarah belahan bumi ini telah mencatatkan bagaimana kebaruan merubah perilaku manusia. Ketakutan mewarnai isu-isu perubahan yang akan terjadi.
Jangankan IKN, yang oleh Bung Bre jadikan fokus uraiannya, perubahan kecil di negeri ini, bisa menjadi trending di seantero jagat. Berhari-hari menjadi bahasan tak henti dengan bumbu politik yang sepertinya enggan lepas dari setiap masalah. Hidup yang membingungkan, atau yang sedang trend di bahasa media sosial membagongkan.
Saya yang bodoh ini, acap bertanya pada diri sendiri, apakah masyarakat kita takut dengan perubahan, jika itu penggagasnya orang yang berbeda kubu?.
Dalam judul Kota Baru, saya sangat tergelitik dengan uraian beliau dengan kemajuan NY dan Amsterdam. Kafe-kafe yang memasang tanda "No WiFi", dan sepeda yang menjadi alat transportasi utama. Kota-kota yang menjadi kiblat kemajuan negeri ini, justru memelihara kodrat manusia sebagaimana adanya.
Manusia yang lahir dengan menendang-nendangkan kaki, tangisan yang melengking, tangan yang menggapai-gapai, dan mata yang mencari cahaya. Sementara kita, begitu tinggi berkhayal bergerak menuju tujuan dengan beberapa langkah dari pintu rumah lalu ndeprok dan ujug-ujug sampai tujuan, tangan yang hanya bergerak beberapa senti mengusap gawai, obrolan dengan teks dengan kolega dan sanak famili. Maka sayapun berharap kota yang tumbuh maju, jangan pintar-pintar amatlah. Atau ini juga wujud dari ketakutan saya pada perubahan?.
Bisa jadi!.
Comments
Post a Comment